Fuji X-100: Meluruskan Arah Inovasi Fotografi. Sebuah Indutrial Review
Kembali pada tahun 2009, industri kamera mencapai satu titik dimana inovasi berjalan lambat dan cenderung minor. Para raksasa produsen kamera berlomba-lomba meningkatkan penjualan dengan menawarkan produk dengan ukuran megapixel semakin besar, dibumbui inovasi minor seperti touch-screen, tilt-screen, dll. Saking gencarnya hingga konsumen menyadari, sedang berlangsung fenomena yang dinamakan megapixel war (perang megapixel). Banyak pemikiran beredar sebagai reaksi atas megapixel war, yang kesemuanya mencapai satu kesimpulan bahwa megapixel, bukan merupakan jawaban untuk meningkatkan kualitas fotografi. Industri kamera menbutuhkan sebuah terobosan baru, dimana para produsen kamera harus memperlebar sudut pandang, tanpa melupakan pendalaman pada tiap-tiap sudut pandang tersebut. Bahwa fotografi tidak melulu gambar dengan kemampuan perbesaran tanpa kehilangan detail, namun juga kesan pengguna saat mengoperasikan kamera, kemudahan menghasilkan gambar yang ideal pada kondisi yang tidak ideal, serta simplifikasi kontrol dan antarmuka. Semua hal itu luput dari perhatian para produsen kamera sampai pada September 2010, Fuji menmperkenalkan model perdana X-series yaitu X100.
Fuji X-100 |
Koreksi Pada Kesan Pengguna
Kehadiran X100 tentu membawa angin segar dalam dunia fotografi. sebuah jawaban yang pas dan tegas atas kemandegan inovasi. Sejak era elektronik, penggusuran yang masif terhadap ciri-ciri kamera retro terus terjadi sampai era digital, dan terkesan tanpa filter. Contoh saja shutter-dial serta dial-dial yang lain, ring-aperture, metal-body, dan kemampuan simultaneous on-off. Dua hal yang mungkin dilupakan adalah bahwa pertama, kebanyakan fitur tadi mempercepat proses pengambilan gambar. Hal ini menjadi krusial karena sesungguhnya fotografi adalah tentang momentum, dan piranti fotografi diarahkan untuk mengejar momentum tersebut.
Kedua, kontrol-kontrol fisik yang digantikan oleh kontrol secara elektronik tadi sesungguhnya, punya kesempatan lebih besar untuk mempertajam intuisi fotografer terhadap kamera yang dipegangnya. Dengan kata lain, kontrol-kontrol fisik kamera itu mendidik penggunanya dan menjadikannya seorang fotografer. Dan lagi-lagi ini adalah tentang momentum, dimana fotografer yang lebih mengenal alatnya, akan lebih cepat responnya terhadap sebuah momen. Dan dari kedua point tadi, semuanya hadir sebagai fitur Fuji X-100.
Inovasi Pada Kualitas Gambar
Industri fotografi digital meyakini bahwa kerapatan pixel (pixel-density, satuannya megapixel) akan meningkatkan kualitas gambar, yang pada kenyataannya kerapatan pixel yang kini dimiliki oleh teknologi kita sudah maksimal pengaruhnya terhadap kualitas gambar, dan hanya berpengaruh terhadap resolusi gambar. Menginsyafi hal itu, Fuji menempuh jalan lain dalam upaya peningkatan kualitas gambar dan menemukan jawaban pada pengalamannya memproduksi film. Hasilnya, X-Trans sensor yang berhasil meminimalkan efek moir dan absennya anti-aliasing filter, sehingga gambar yang dihasilkan semakin tajam.
Kembali pada pengalaman Fuji mengembangkan film, hal itu benar-benar memberikan keuntungan dalam pengembangan baris kamera X- Series. Seperti yang diyakini oleh David Hobby, Sang Bapak Strobist, bahwa pengalaman Fuji mengembangkan film membuatnya benar-benar mengenal warna beserta sifat-sifatnya. Kemudian saya berasumsi bahwa pasti Fuji mengaplikasikan pengetahuannya itu dalam image prosesor X-100, sehingga selain warna yang dihasilkan mengagumkan, juga menjadikan X-100 mampu menangkap foto ideal, dalam kondisi yang kurang ideal, semisal situasi backlight.
Sekian.