Tuesday, January 27, 2015

Xyza Cruz Bacani: Pramuwisma Penerima Beasiswa Magnum Foundation

Di Hong Kong, Xyza Cruz Bacani bekerja sebagai seorang pramuwisma. Namun, ketertarikannya pada kamera, konsistensinya di ranah street fotografi sepanjang 4 tahun belakangan, dan kuatnya jiwa sosial yang dimilikinnya bersatu padu melahirkan karya fotografi yang "berbicara". Hingga pada 22 Januari kemarin, hidup Xyza berubah secara dramatis ketika namanya terpilih sebagai penerima 2015 Human Right Fellowship dari Magnum Foundation.

Xyza Cruz Bacani

Xyza merupakan gadis 27 tahun yang tumbuh besar di Nueva Vizcaya, Filiphina. Di usia 19 tahun, dia harus meninggalkan bangku kuliah agar adik-adiknya bisa tetap sekolah. Ibunya yang bekerja di Hong Kong membawanya serta bekerja sebagai pramuwisma disebuah keluarga kaya dengan tugas utama menjaga ke-7 cucu majikannya yang berkunjung hampir tiap hari. Tidak jarang pekerjaan seperti mengecat tembok apartemen ditugaskan kepadanya, namun tugas memotret cucu-cucu sang majikan juga sesekali didapatkannya. Untungnya majikan Xyza tidak jahat seperti umumnya seorang majikan di Hong Kong. Dia mendapat tambahan gaji ketika lembur, dan uang extra itu dibelanjakan kamera (D90) dan lensa.

Xyza sebenarnya merasa terkucil dan rendah diri di Hong Kong, namun ketika tangannya memegang kamera dia merasa berubah menjadi pribadi yang baru dan berbeda. "Ketika saya memakai kamera, saya bukan pramuwisma lagi, saya seorang gadis biasa" kata Xyza " Ini menjadi perlindungan karena ketika kamu adalah seorang pramuwisma, ada semacam stereotype yang dikenakan pada status pekerjaan tersebut".








Baru-baru ini, Xyza mendokumentasikan kehidupan sekelompok wanita korban kekerasan majikan di Bethune House Migrant Women's Refuge. "Saat melihat gadis-gadis itu, saya menyerap emosi mereka hingga tidak dapat mempercayai ada orang berlaku sedemikian kejam terhadap sesamanya" kenang Xyza. Dijalanan jiwa sosialnya terusik dan melalui fotografi dia ingin mengkomunikasikan kegelisahannya itu. 




Xyza aktif memposting foto-fotonya di internet, hingga menarik perhatian seorang fotografer dokumenter asal Filiphina Rick Rocamora. "Ya Tuhan, dia Vivian Maier dijaman moder" kenang Ricamora. Perkenalannya dengan Ricamora membawanya kenal dengan mentor-mentor fotografi dokumenter. Tak lama setelahnya, alam bekerja menjawab panggilan jiwanya. Pertama, profilnya diangkat oleh New York Times' Lens, kemudian sponsorship dari Fuji Film lalu kesempatan pameran di Konsulat Jendral Filiphina di Hong Kong.

Pameran keduanya tahun 2014 di Foreign Correspondents' Club di Hong Kong. Pertama kali melihat fotonya diperbesar dia merinding, mengambil smartphone dan memotret galeri yang memajang karyanya tersebut untuk dikirim kepada ayah dan ibunya, bangga.